Senin, 04 Oktober 2010

True Story : Terapi Susu kambing pada Penderita Gangguan Ginjal

Tak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan seorang ibu yang dikaruniai anak yang sehat. Demikian juga saya, Alhamdulillah, begitu anak saya yang pertama lahir rasanya saya lega karena dia lahir dalam kondisi sehat tak kurang satu apapun. Hingga enam bulan kemudian saya mendapatkan ujian yang sungguh menguras fisik dan psikis saya. Secara tiba tiba anak saya kencing darah. Kaget! Lebih dari itu, saya merasa tiba tiba dunia runtuh.
Memang sebelumnya
saya merasa curiga karena seharian hanya
kencing dua kali. Layaknya bayi,
seharusnya minimal kencing empat kali
dalam sehari. Kecurigaan saya ternyata beralasan. Tanpa menunda-nunda saya langsung
membawa anak saya ke Rumah Sakit
untuk mendapatkan perawatan. Saya
merasa tidak tega, karena seharian penuh
dia menangis mungkin menahan sakit.
Hingga akhirnya dokter menyarankan saya untuk dirawat. Setelah beberapa hari mendapatkan
perawatan akhirnya dokter perpendapat
bahwa anak saya mengalami infeksi
saluran kencing, hal yang biasa dan tidak
perlu dikhawatirkan karena umum terjadi
pada anak anak. Mendengar penjelasan dokter saya merasa sangat lega dan lebih
tenang. Setelah panasnya turun anak
saya sudah boleh pulang. Namun ketenangan saya kembali terusik
karena secara tanpa saya sadari saya
memeriksa kemaluan anak saya setelah dia
kencing, hal yang tidak pernah saya
lakukan sebelumnya… mungkin naluri seorang ibu. Betapa terkejutnya, saya
mendapati batu berukuran sekitar 3 mili di
sana! Tangan saya gemetar, saya tak tahan
menahan tangis. Tak tega melihat anak
saya meronta ronta menahan sakit.
Semakin lemas saya ketika saya dapati
sekitar 2 - 3 batu walaupun dalam ukuran
yang lebih kecil. Saya segera melapor dan, setelah
menjalani pemeriksaan dokter
menyarankan agar anak saya di rontgen
saja. Saya menolak karena saya tahu
resikonya, dan sebaliknya menyarankan
dokter untuk memeriksa dengan bantuan USG bagi anak saya. Dokter malah
menertawakan saya. Apa daya, akhirnya
saya menurut saja. Benar saja, hasil rontgen nihil. Akhirnya
dokter mengikuti saran saya. Entah apa
yang menuntun saya untuk meminta
dokter melakukan USG untuk anak saya.
Sekali lagi, naluri ibu. Saya melihat kekhawatiran yang amat
sangat dari dokter yang melakukan USG
pada anak saya. Dengan nada suara
rendah dan menyesal dia berujar,”Ibu harus kuat, saya harus katakan bahwa
batu di ginjal anak ibu banyak sekali,
rumah sakit ini tidak memiliki alat yang
lebih baik untuk pemeriksaan lebih lanjut… sebaiknya ibu bawa anak ibu ke rumah
sakit di Bandung atau di Jakarta”. Dalam bimbang dan sedih saya harus
menguatkan diri saya. Karena pada saat
itu suami saya sedang pergi untuk ibadah
Haji. Tidak mungkin juga saya menelepon
beliau karena hanya akan membuat beliau
khawatir. Setelah berkonsultasi dengan beberapa kerabat, akhirnya kami
membawanya ke RSIB Harapan Kita. Dua minggu lebih anak saya menjalani
perawatan. Ternyata ini adalah kasus ke
tujuh yang pernah ada di RSAIB Harapan
Kita. Dokter dari berbagai keahlian
berbaur memberikan saran dan sepakat
untuk menunggu hingga usia anak saya cukup memungkinkan untuk dilakukan
operasi sambil menunggu berbagai
kemungkinan dan perkembangan. Tak kuat menahan beban akhirnya saya
memberi kabar pada suami untuk
meminta doa. Alhamdulillah, secara
alamiah 11 batu keluar begitu saja. Yang
tertinggal hanya dua buah bongkah
dengan ukuran yang lebih besar 4 mili dan 6 mili ‘plus’ beberapa batu berukuran kecil yang tampak masih sporadis di mana
mana. Hingga akhirnya dokterpun
menyarankan anak kami untuk dirawat di
rumah saja dan menjalani pemeriksaan
USG rutin setiap enam bulan. Saya masih penasaran, apa pasal di balik
kondisi anak saya? Karena selain masalah
batu dia juga sulit buang air besar dan
selalu merasa gatal di sekujur tubuhnya.
Akhirnya saya membawa anak saya
menemui seorang dokter ahli pencernaan di kawasan Bekasi. Dokter mengatakan
bahwa anak saya alergi susu sapi dan susu
kedelai. Beliau menyarankan agar anak
saya diberi susu kambing saja, tapi nanti
setelah usianya genap satu tahun. Saya ikuti saran dokter. Dalam
pemeriksaan USG yang pertama saya dan
dokter ahli ginjal di RSIB Harapan Kita
terkejut luar biasa. Ginjal anak saya lebih
bersih. Dua batu besar yang masih
bersarang juga semakin menipis. Saya katakan bahwa anak saya kini susu
kambing menjadi minuman rutin anak
saya. Saya senang bukan kepalang,
berucap syukur luar biasa! Perkembangan yang menggembirakan
terus saya dapatkan di pemeriksaan rutin
USG anak saya. Hingga pemeriksaan
terakhir sebelum saya berangkat ke Paris
untuk menemani suami studi di sana, anak
saya dinyatakan bersih! Alhamdulillah. Dokter yang rutin melakukan pemeriksaan
USG pada anak saya begitu heran. Karena
dia sangat tahu persis perkembangan
batu-batu di ginjal anak saya. “Anak ibu diberi obat apa?”, begitu dia bertanya dengan heranya. “Saya tidak beri obat apa apa karena dia masih bayi, saya hanya
mengikuti saran dokter ahli pencernaanya
untuk memberikan susu kambing karena
anak saya alergi susu sapi dan susu
kedelai”, begitu saya menjelaskan. Hingga saat ini saya masih bertanya tanya,
mengapa batu dapat bersarang begitu
banyak di ginjal anak saya? Dokter pun
tak ada yang tahu persis jawabannya.
Pada umumnya mereka menjawab karena
faktor genetika atau bawaan dari sejak bayi. Apapun penyebabnya, satu
pelajaran yang dapat saya bagi pada
pembaca : cobalah susu kambing jika ada
sanak saudara, kerabat hadai taulan,
sahabat atau orang terdekat, bahkan diri
Anda sendiri yang mengalami hal yang sama dengan anak saya. Karena saya
telah membuktikannya. Semoga
bermanfaat.
sumber: http://imarahmani.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar